Kamis, 01 Agustus 2019




BAB 1
Keysa

NAMAKU Keysa Adeeva Myesha.  Usiaku saat ini adalah 22 tahun. Aku baru saja lulus kuliah tahun kemarin di bidang study Management Bisnis. Aku anak satu-satunya dari Bapak Mahesya seorang pengusaha di bidang Produksi Makanan.
Saat ini aku tengah bersiap-siap karena hari ini ada interview di sebuah perusahaan besar dalam bidang property yang cukup terkenal di Indonesia. Banyak sekali cabangnya di setiap kota di Indonesia dan aku sangat berharap sekali bisa diterima di perusahaan tersebut. Meskipun aku juga anak dari seorang pengusaha cukup terkenal di Indonesia tetapi aku tidak mau bergantung pada Papa terus. Aku ingin berusaha mandiri.
"Baiklah sepertinya aku sudah cantik." Setelah memoles make up natural dan lipstik warna bibir. Aku segera menyambar tasku yang ada di atas meja dan bergegas keluar kamar.
Saat aku sampai di ruang makan, ternyata sudah ada Papa dan Sanas, dia adalah sahabat terbaikku. Sahabat satu-satunya yang aku miliki. Dia seorang anak yatim piatu. Saat dia duduk di kelas 1 SMA, orangtuanya meninggal karena kecelakaan beruntun di tol Cipularang. Aku meminta Papa untuk mengajaknya tinggal bersama, sekalian untuk menemaniku juga di rumah dan akhirnya Papa setuju dan mengijinkan Sanas tinggal di sini. Kami sekolah dan kuliah bersama. Sampai saat lulus, dia memutuskan bekerja di kantor Papa sebagai salah satu staf di divisi keuangan yang dimana managernya adalah tunanganku sendiri, Reno.
"Pagi Pa, pagi Nas." Aku langsung mencium pipi Papa dan duduk di samping Sanas. Tetapi saat ini, Sanas sudah tak tinggal bersama kami, karena dia ingin menempati rumah mendiang orangtuanya.
"Pagi sayang," sahut Papa sambil menyesap kopinya. "Kamu yakin akan melamar pekerjaan di sana?" Oke, ini sudah ke 10 kalinya Papa menanyakan hal itu kepadaku. Papa terlalu mengkhawatirkanku dan selalu saja meremehkanku. Padahal aku ingin berusaha mandiri dan mencapai kesuksesanku sendiri tanpa bantuan Papa.
"Ya Papa," jawabku sambil mencomot roti yang sudah tersedia di hadapanku.
"Aku akan menemaninya Om, aku sudah meminta ijin tadi sama pa Reno," sahut Sanas ikut menimpali.
"Sebenarnya Papa ingin kamu bekerja di kantor Papa saja, jadi nanti kamu bisa bantu Reno mengurusi perusahaan kita," sahut Papa menatapku sendu, ya memang ini yang selalu Papa katakan padaku.
"Aduh Papa, aku kan sudah bilang ke Papa. Aku ingin belajar mandiri, aku ingin berusaha mencapai semuanya tanpa bantuan Papa. Biarkan aku terjun langsung dalam dunia luar, aku mohon mengertilah." Aku berusaha membuat Papa mengerti.
"Baiklah Papa mengerti." Papa terlihat menghela nafasnya mungkin sudah tau tabiatku yang keras kepala. Syukurlah,,,
"Astaga sudah jam 7, ayo Sanas kita akan terlambat! Gue di interview jam 8!" Aku sungguh merasa darahku surut seketika saat melihat jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tanganku. Apalagi kantor yang aku tuju kali ini lumayan jauh dari rumah.
"Ayo Key." Sanaspun menyudahi sarapannya dan mengikutiku berpamitan pada Papa.
Kami langsung menaiki mobil Audy yang terparkir di depan rumah. Aku memang selalu di antar sopir pribadi kemanapun karena Papa sangat khawatir kalau aku menyetir sendiri. Ya begitulah Papa, dia masih menganggapku putri kecilnya.
Saat hampir sampai, mobil tiba-tiba berhenti dan terlihat macet cukup panjang di depan sana. Dan waktu sudah menunjukkan pukul 7.45.
"Aduh Pak, gak ada jalan lain lagi? Aku sudah terlambat!" ucapku ke pak Hadi, sopir pribadi yang selalu setia mengantarku kemanapun. Aku terus melihat jam tangan yang bertengker di tanganku dengan kegelisahan yang tak menentu tentunya.
"Saya gak tau Non, sepertinya ada kecelakaan di depan," ucap pak Hadi membuatku mendesah lesu.
"Gimana ini, Nas?"
"Masih jauh gak kantornya Key?" tanya Sanas yang ikut merasa cemas. Dia memang selalu begitu, dia seakan latah, apa yang aku rasakan mampu dia rasakan. Tetapi aku senang, karena sahabatku ini sungguh sehati denganku.
"300 meteran lagi kayaknya." Aku mencoba memperkirakan jarak dari tempat kami berada.
"Baiklah kita jalan kaki saja," sahut Sanas tiba-tiba.
"Tapi kan lumayan jauh, Nas!"
"Ya  tidak apa-apa. Lagipula ini macet gak tau bakalan sampe kapan Key," jelas Sanas dan aku terdiam sebentar memikirkan ide Sanas.
"Baiklah ayo."
Kami berjalan bersama menyusuri jalanan, tetapi baru beberapa langkah, seketika hujan turun dengan derasnya. Karena memang sejak tadi cuaca sangat mendung. Sanas menarikku untuk berlari karena hujan sangat deras sekali.
"Aaaarrghhh !!!"
Sial!!! sebuah sepeda motor melintas dan melewati kubangan air, membuat air itu mengotori pakaianku. Ah sungguh hari yang sangat sial.
"Sialan!!!"
"Sudah, jangan di pikirkan. Ayo," Sanas kembali menarikku dan kami sama-sama berlari menuju kantor dengan menembus hujan. Dan akhirnya kami sampai juga di perusahaan  Blandino group company. Kantornya sangat besar dan mewah sekali, lebih tinggi dari kantor Papa.
"Cepat masuk Key," ucap Sanas menyadarkanku dari kekagumanku pada gedung pencakar langit ini, sampai aku hampir lupa keberadaan Sanas di sampingku. Aku sedikit merapihkan pakaianku yang basah dan kotor. Tiba-tiba saja Sanas duduk rengkuh di hadapanku dan membersihkan sepatuku di depan semua orang.
"Sanas!" aku  memintanya untuk berdiri.
"Diamlah," ucap Sanas menepis tanganku dan masih sibuk membersihkan sepatuku yang kotor dengan tissue. "Sudah selesai." Sanas kini kembali berdiri dan merapihkan rambutku yang lepek dan basah. "Sekarang masuklah, loe sudah terlambat."
"Loe gimana? Loe pasti kedinginan." Aku khawatir melihatnya yang sudah menggigil. Pasti kedinginan karena pakaiannya juga sangat basah.
"Gue tidak apa-apa, gue akan nunggu pak Hadi di cafe sana sambil memesan kopi hangat. Cepet loe masuk, sudah jam 8 lewat," ucapnya.
"Baiklah, gue masuk dulu yah." Aku mencium pipinya dan bergegas berlari menyusuri lobby kantor.
Aku bertanya pada seorang resepsionist  yang terlihat sangat menor dan seksi. Jutek sekali dia.
Setelah aku mendapatkan informasinya, aku kembali berlari menuju lift. Dan apa ini ruangan Ceonya di lantai no 30, astaga aku semakin telat saja. Kantor kok tinggi sekali, sudah menyaingi gunung Everest.
Ting
Akhirnya sampai juga, aku kembali berlari dan menemukan sebuah pintu besar berwarna coklat kayu. Tidak ada sekretaris di sana, apa mungkin acara interview nya telah selesai? tetapi aku coba masuk dulu ke dalam ruangan itu. Sedikit mengatur nafasku dan merapihkan penampilanku yang masih terlihat kacau dan basah. Merasa lebih baik, akupun segera mengetuk pintu ruangan itu. Setelah ada jawaban dari dalam, aku masuk dan melihat seseorang yang sedang duduk di kursi kebesarannya dan fokus dengan laptopnya.
Dia sangat tampan, melebihi aktor-aktor di Indonesia, matanya yang setajam elang, hidungnya yang mancung dan bibirnya... Bibirnya sangat seksi dan berwarna merah sepertinya dia bukan perokok.
"Ekhem!" Sebuah deheman membuatku tersadar dari khayalan bodohku yang ketahuan tengah mengaguminya. Inget Key, kamu sudah punya tunangan, inget Reno.
"Apa kamu hanya akan berdiri di sana seperti satpam?" ucapnya terdengar begitu datar dan dingin, dia menatapku dengan sangat tajam seperti hendak menerkamku saja. Aku berusaha menormalkan kembali ekspresi bodohku yang terlihat tengah mengaguminya. Aku segera berjalan mendekati mejanya tanpa duduk karena belum di suruh.
"Siapa nama kamu?" tanyanya tetap datar dan dingin.
"Saya... Nama saya Keysa Adeeva Myesha." Dia menatapku dari atas hingga bawah dengan mata elangnya yang tajam, dan entah kenapa aku merasa di telanjangi oleh tatapannya itu. Oh God,,,
"Apa seperti ini penampilan seseorang yang akan menjalankan interview?" ucapnya menyindirku dengan sarkasis. Ya, aku sadar karena memang penampilanku saat ini sungguh jauh dari kata rapi. Rambut yang sedikit lepek karena kehujanan, baju yang basah, rok dan kakiku terlihat kotor karena cipratan air tadi. Aku menundukkan kepala karena sangat malu.
"Maafkan saya Pak, saya tadi menerobos hujan dan terkena cipratan genangan air," ucapku dengan sangat jujur tanpa ada yang di sembunyikan.
"Duduklah," perintahnya mulai lembut tidak sedingin tadi. Akhirnya aku bisa duduk juga, kakiku sudah pegal dan sedikit sakit karena lecet sehabis berlari menerobos hujan.
"Aku sudah baca CV kamu, sebelumnya kamu pernah berkerja dimana?" tanyanya tanpa melirik ke arahku dan fokus pada berkas di depannya.
"Saya belum pernah bekerja, tahun lalu saya lulus kuliah dan membantu usaha Papa saya. Tetapi saya akan bekerja sebaik mungkin Pak, saya janji tidak akan mengecewakan Bapak.”
"Cih, percaya diri sekali. Apa jaminannya kalau kamu bisa bekerja dengan baik? Pengalaman bekerja saja belum ada," ucapnya datar sekali dan sangat menyebalkan. Sayang sekali wajah tampannya kalau mulutnya kurang bumbu. Bagaikan Steak tanpa saus barbeque,    
"Setelah saya melihat semua laporan hasil beberapa testmu sebelumnya, aku memutuskan menerimamu untuk bekerja di sini dan besok kamu sudah mulai bekerja menjadi sekretarisku," ucapnya masih sangat datar dan kembali fokus pada dokumen-dokumen di hadapannya dan aku hanya bisa melongo mencerna apa yang barusan dia katakan.
"A...apa benar saya di terima bekerja di sini?" aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, dan meyakinkan kalau pendengaranku masih baik-baik saja.
"Ya,"
"Terima kasih banyak, terima kasih banyak, Pak." Aku langsung beranjak dari dudukku dan menyodorkan tanganku padanya, aku sungguh sangat bahagia.
Prank
Aku terpekik kaget saat tidak sengaja menyenggol gelas minum yang ada di sana hingga jatuh dan pecah ke lantai. Dia terlihat memelototiku membuatku semakin takut dan grogi. Ah sial, kenapa aku sangat ceroboh. "Maaf,, maafkan saya Pak. Saya akan menbersihkannya," aku bergegas membersihkan pecahan kaca itu, tetapi...
Brak
Aku semakin takut. Karena tak sengaja menyenggol tumpukan berkas hingga jatuh ke lantai dan berserakan di sana.
"Ini yang kamu maksud akan bekerja dengan baik, hah??" pekiknya tampak geram dan emosi. Ya Tuhan Keysa, kenapa kamu begitu ceroboh.
"Ma-maafkan saya." Tamat sudah riwayatku sekarang, kesempatan yang sudah ada di depan mata akan langsung lenyap begitu saja karena ketololanku.
"Dasar ceroboh!"
"Sa-saya akan membersihkannya." Aku masih berusaha bertanggung jawab untuk segala yang aku perbuat.
"Tidak perlu,, keluarlah. Mataku semakin sakit melihatmu masih berada di sini," ucapnya dengan dingin membuatku semakin menunduk. Tamatlah sudah....
"Tunggu apa lagi !!"
"Tapi-" Aku menunjuk ke arah pecahan gelas dan kertas yang berserakan di lantai.
"Keluarlah, tidak perlu memikirkannya!" ucapnya terlihat jengkel.
Akupun berpamitan dan beranjak menuju pintu, tetapi saat baru akan memegang knop pintu, dia kembali berbicara. "Besok jangan sampai terlambat lagi!"
“Apa Pak?” Aku langsung berbalik ke arahnya dengan perasaan was was.
“Apa kamu tuli?”
“Ma-maksud sa-saya.”
“Besok hari pertama kamu bekerja, jadi jangan sampai terlambat dan kotor seperti barusan.”
“Bapak gak jadi mecat saya?”
“Bagaimana bisa saya memecatmu saat kamu belum bekerja!” aku menunduk mendengar nada jengkel darinya. Dengan segera akupun mengangguk dan berpamitan. Saat berhasil keluar dari ruangan itu, aku menarik nafas dan menghembuskannya berkali-kali. Berhadapan dengan dia sungguh harus menyiapkan mental yang kuat. Tetapi di balik semua perasaan gugup itu, aku lega sekaligus senang karena aku berhasil di terima di perusahaan besar ini dan bisa membanggakan diri pada Papa, kalau aku bisa di andalkan Papa. Aku bukan lagi putri kecilnya yang selalu merepotkannya. Aku melanjutkan langkahku dengan perasaan senang.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar