AKU BUKAN PELAKOR (Lanjutan SCUI)
Prolog
Kehidupan Kanaya yang hancur setelah di campakkan oleh Akbar, ia kembali
bertemu dengan seorang pria yang merupakan atasannya di kantor.
Pria itu tampak penuh
perhatian dan menyimpan perasaan kepada Kanaya. Dan perlakuannya membuat Kanaya
sedikit risih. Apalagi pria itu sudah menikah dan memiliki istri juga anak-anak
yang sudah cukup dewasa.
Kanaya sedikit tergoda
oleh perlakuan bosnya itu yang mampu membantunya melupakan Akbar.
Hingga suatu hari
bosnya itu melamar dia untuk menjadikan Kanaya sebagai istri keduanya.
Haruskah Kanaya
menerima lamaran itu?
Satu
Sudah satu bulan
Kanaya bekerja di sebuah perusahaan jasa pengiriman, sebagai Custamer Service. Kanaya cukup menikmati
pekerjaan itu yang sungguh menguras waktunya untuk selalu melayani pelanggan
yang datang.
Waktu istirahat telah datang, Kanaya merenggangkan kedua tangannya dan
mengambil handphone miliknya dari dalam laci mejanya. Ada pesan chat masuk
kepadanya.
Ia tertegun saat
melihat apa yang ada di layar handphone nya. Chat itu berisi foto keluarga
Akbar dengan caption.
Lupakan dia
sekarang, Naya. Dia sudah bahagia dan sekarang kamu gapailah kebahagiaanmu
sendiri. Kamu berhak bahagia...
Kanaya menghela nafasnya lelah. “Andai moveon itu semudah membalikkan
tangan, mungkin sudah aku lakukan,” gumamnya.
«»
“Mau pulang, Naya?”
pertanyaan itu menghentikan langkah Kanaya.
“Pak Hamid?” gumam
Kanaya saat seseorang menghentikan mobilnya tepat di sampingnya.
“Pulang sendirian? Ayo
biar aku antar,” seru Hamid diiringi senyumannya.
“Tidak perlu Pak,
kontrakanku dekat dari sini,” seru Kanaya.
“Tidak masalah, ayo
naik. Daripada berjala kaki sendirian. Ini juga sudah malam,” seru Hamid tampak
berusaha membujuk Kanaya.
Kanaya tampak berpikir
sejenak sebelum akhirnya ia setuju dan naik ke dalam mobil Hamid.
“Bagaimana pekerjaan
hari ini? Apa ada lagi nasabah yang membentakmu?” tanya Hamid mencairkan
suasana seraya menyetir mobilnya.
“Alhamdulillah tidak
ada Pak, kemarin itu mungkin kebetulan saja aku sedang sial,” kekeh Kanaya.
“Ah syukurlah kalau
begitu.” Hamid tersenyum puas. “Sebenarnya aku sangat salut padamu, lho.
Kemarin kamu begitu tenang menghadapi custamer yang menyebalkan itu.”
“Itu bukan masalah
besar, Insa Allah saya akan berusaha menghandle apapun yang merupakan pekerjaan
saya,” jawab Kanaya.
Hamid tanpa sadar
memperhatikan wajah Kanaya yang cantik dan ia tersenyum penuh arti.
“Sudah sampai, Pak.”
Kanaya menyadarkan Hamid dari keterpakuannya.
“Disini?” seru Hamid
meminggirkan mobilnya. “Dimana kostan kamu?”
“Masuk ke gang itu,
tidak terlalu jauh hanya terhalang dua bangunan saja. Terima kasih untuk
tumpangannya Pak. Selamat malam.”
Kanaya menuruni mobil
Hamid seraya mengucapkan salam dan berlalu pergi.
“Kanaya, kamu sungguh
sangat istimewa,” gumam Hamid tersenyum, kemudian menjalankan mobilnya.
«»
Kanaya berdiri menatap
jendela di kostannya dengan segelas kopi di tangannya. Bayangannya kembali
menerawang ke pesan dari salah satu temannya Wina di Jakarta. Wina mengetahui
seluk beluk kisah dirinya dan Akbar.
Dan pesannya tadi
membuat Kanaya semakin merasa malu dan sangat menjijikan. Sampai detik ini pun
kenapa harus merasakan sakit?
Aku bukanlah pelakor...
itulah jeritan hatinya.
Terus berusaha
memungkiri walau hati itu masih ada untuk Akbar.
Dering handphone menyadarkan lamunannya. Ia berjalan mendekati
ranjang dan mengambil handphone nya seraya menyimpan mug gelasnya di atas meja
nakas.
“Wina...” gumamnya dan
mengangkat sambungan telpon itu.
“Hallo Assalamu’alaikum,”
“....”
“Alhamdulillah gue baik dan
semuanya gak ada masalah.”
“.....”
“Lu gak salah, jadi gak perlu
minta maaf. Kenyataannya memang Akbar sudah bukan milik gue. Dia sudah
menemukan tambatan hatinya.”
“.....”
“Itulah yang saat ini sedang gue
usahakan. Melupakannya,” gumam Kanaya.
“....”
“Lu pikir mudah cari pendamping,
apalagi status gue yang seorang janda. Gak akan semudah itu Win.”
“....”
“Lu tenang saja, gue gak akan
menghubungi dia lagi. Gue akan berusaha melupakan perasaan masalalu gue dan
berusaha mengobati luka ini.”
“....”
“Lu meragukan gue?”
“.....”
“Gue yakin sama Allah. Allah
tidak akan menjerumuskan gue ke hal yang negative. Insa Allah gue ikhlas.”
“.....”
“Wa’alaikumsalam...”
“Aku yakin aku bisa melakukan
melupakan segala hal tentang Akbar.”
“Karena aku bukan pelakor.”
Kanaya bergumam dengan tatapan mata
penuh keyakinan.
«»
Tidak ada komentar:
Posting Komentar