Kamis, 01 Agustus 2019




JEN & JOE


PROLOG


            Bertahun-tahun aku terjebak dalam trauma yang sangat menakutkan. Hingga dia datang dengan mengulurkan tangannya yang kekar dan hangat. Dia menarikku keluar dari kubangan masalalu yang menyakitkan. Dan dia juga mampu memperjuangkanku dengan melawan Ayahku yang posesif....

Jennifer Belle Winstone

            Dia seorang gadis polos nan cantik dengan sejuta ketakutan di matanya, entah kenapa aku selalu ingin di dekatnya walau aku Dokter yang menanganinya, tetapi perasaan itu lebih dari seorang Dokter pada pasiennya. Aku ingin menyelamatkannya dari keterpurukan dan menunjukkan warna warni kehidupan...

Joshua Gerald Blandino

















                                                           

-Chapter 1-


GOOD MORNING
Seorang gadis dengan seragam SMA berlari menuruni tangga dengan ceria, rambut panjangnya ia ikat kuda, dan tas ransel berwarna pink bertengker di punggungnya.
Morning, Honey.” Farel mencium pipi gadis yang tak lain adalah putri kesayangannya Jennifer.
Claudya juga ikut mencium pipi Jen. “Morning, abang pilot.” Jen memeluk leher Vino seraya mengecup pipinya. “Abang oleh oleh buatku mana?”
“Ada di kamar, nanti kamu ambil saja yah.”
Oke Brother,
Jen duduk di antara mereka, Claudya menyerahkan piring dengan roti berisi ham dengan beberapa sosis bakar kesukaannya. Tanpa menunggu lama lagi, Jen langsung melahapnya dengan berisik seperti biasanya. Dari sejak kecil Jen tidak pernah makan dengan rapi, dia sudah di kenal sebagai pemakan yang berisik, begitu kata Farel. Suara sendok garpu atau pisau yang saling beradu.  Mulutnyapun pasti selalu belepotan,
“Makannya pelan-pelan saja, Honey.” Ucap Claudya.
Jen hanya menampilkan cengiran lebarnya seperti biasa.
Jen terkenal sebagai gadis yang begitu periang dan ceria. Ia memiliki tubuh yang mungil, wajahnya begitu oriental dengan mata birunya mirip seperti Claudya. Hidungnya mancung dan kecil, selain memiliki mata yang indah, ia juga memiliki bulu mata yang begitu tebal juga lentik seperti memakai bulu mata palsu.
“Sudah selesai, Honey?” tanya Farel membuat Jen mengangguk seraya mengusap mulutnya dengan serbet. “Kalau begitu ayo kita berangkat.” Jen berpamitan pada Claudya dan juga Vino. Ia berangkat di antar Farel ke sekolanya.
“Bagaimana dengan sekolamu, Honey?” tanya Farel saat mereka sudah duduk rapi di dalam mobil.
“Aman, Pa. Hanya tugas sudah sangat menumpuk,” kekehnya.
“Kamu baca buku apa itu, Jen? Itu bukan buku pelajaran kan?” Farel melirik ke arah sampul buku yang di baca Jen.
“Ini novel Papa, aku baru meminjamnya dari teman. Habis Papa gak kasih aku ijin buat beli Novel.”
“Novel apa? Coba Papa lihat dulu.” Farel meminggirkan mobilnya dan mengambil Novel yang tengah di baca oleh Jen. “Ini Novel apa?”
“Itu Novel Stay With Me karya nya mbak Indriani Sonaris. Aku suka sekali karyanya, karena Papa gak memberiku uang tambahan buat membelinya jadi aku meminjamnya ke teman.”
“Sebentar Papa cek dulu, Papa takut ada bagian dewasa yang tidak seharusnya kamu baca,” ucapnya membuat Jen merengut seraya memutar bola matanya. Papanya ini memang sangat posessive, semua hal yang akan di lakukan Jen harus di ketahui olehnya bahkan selalu di periksa terlebih dahulu. Begitu juga dengan handphonenya yang hampir setiap hari akan di periksa.
“Papa, di sana tidak ada adegan dewasanya.”
“Ini ada adegan ciumannya, kamu belum cukup umur untuk membaca ini Jen. Papa melarang kamu membaca novel seperti ini karena ada bagian dewasanya. Kamu lebih baik membaca buku pelajaran atau membaca dogeng princes.”
“Papa, Jen kan sudah besar.”
“Kamu masih kecil Jen, papa tidak ingin kamu sampai salah bergaul.” Masih tetap pada pendiriannya. “Dengar Honey, Papa begitu menyayangi kamu.” Farel merubah raut wajah kesalnya dan mulai kembali melembut. Ia mengusap kepala Jen dengan sayang.
“Oke, kali ini Papa kasih ijin. Setelah selesai segera kembalikan kepada temanmu! Dan jangan meminjam novel apapun lagi,” ucapnya final, ia mengalah karena raut wajah Jen yang langsung berubah muram. Farel kembali menyerahkan novel itu ke Jen setelah Jen mengangguk tanda setuju.
“Makasih Pa,”
“Iya Honey,” Farel kembali menjalankan mobilnya. “Ingat kalau Papa sangat menyayangimu dan Papa mengkhawatirkanmu.” Jen kembali menganggukan kepalanya seraya menampilkan senyuman simpulnya.
Sesampainya di sekolah, Jen segera mencium pipi Farel dan menuruni mobilnya. “Nanti Papa jemput kamu lagi yah.” Jen hanya menganggukan kepalanya dan berlari menuju kelasnya.
“Jen, kamu di antar lagi sama Papamu.” Seorang siswi mendekatinya. Jen tidak menanggapinya dan memilih duduk.
“Jen kan anak Papa yang manja,” tawa mereka menggelegar.
“Papanya udah seperti pengasuhnya saja,” ejek yang lain.
“CUKUP! Papaku bukan pengasuhku! Dia hanya ingin menjagaku karena dia sangat menyayangiku!” Jen langsung berdiri dari duduknya menatap tajam pada teman-teman yang mentertawakannya.
“Papaku juga menyayangiku, tetapi dia tidak sibuk mengurusiku. Dasar anak manja, anak Papa.” Ejek mereka di sertai tawa mereka yang menggelegar.
“Dilarang ini dan itu, kalau tidak nanti Papa marah.” Ejekan mereka membuat Jen menutup kedua telinganya dan berlari keluar kelas.
Jen menangis di dalam toilet, hampir setiap hari dia di ejek teman-temannya. Papanya begitu mengekangnya. Bahkan saat ada kegiatan di sekolah, Farel menunggunya sampai kegiatan itu selesai. Di antara yang lain, hanya Farel orangtua murid yang langganan datang ke sekola. Jen merasa sangat malu dan sakit hati karena terus di ejek oleh teman-temannya. Padahal Jen sudah SMA, tetapi Papanya selalu memperlakukannya layaknya anak TK.
Jennifer terlihat tengah duduk di sisi kolam renang dengan memasukkan kedua kakinya ke dalam kolam renang. “Sedang melamun apa sih adik Abang ini.” Jen menoleh ke sampingnya,
Alvino berdiri di sana, dan ikut bergabung bersama Jen. Ia duduk di samping Jen dengan memasukkan kedua kakinya ke dalam air kolam renang.  “Kenapa cemberut aja sih.” Vino mengusap kepala Jen dengan sayang.
“Ih Abang, rambutku acak-acakan,” gerutunya seraya merapihkan rambutnya yang diikat kuda.
“Kenapa?”
“Papa,” cicitnya seraya menangis.
“Ada apa lagi dengan Papa?”
“Dia gak ijinin aku ke rumah teman, padahal ada tugas kelompok. Papa menyuruh aku ngerjainnya di rumah dan ajak teman-temanku, tetapi mereka gak mau. Aku pengen nangis, kenapa Papa mengekangku terus,” tangisnya membuat Vino menariknya ke dalam pelukannya.
“Papa bukan mengekangmu, Sayang. Dia hanya khawatir padamu, dia ingin menjaga kamu.”
“Tapi harus seperti ini? Jen bukan anak kecil lagi. Jen bukan boneka yang harus terus di atur sama Papa. Jen udah SMA, masa iya harus di temenin terus seperti anak TK.”
“Cup cup cup, sudah jangan nangis lagi. Kamu harus paham karakter Papa, Papa kamu itu terlalu takut dan tidak ingin terjadi sesuatu sama kamu,” ucap Vino mengusap kepala Jen.
“Aku mau di Indonesia saja, sama Papa Dhika.”
“Tidak bisa dong Jen, Papa dan Mama tidak akan mengijinkan.”
“Di sana ada Adrian, Kak Leon dan Kak Leonna. Setidaknya Jen gak akan kesepian, Abang terlalu sering berpergian.”
“Abang kan kerja,” ucap Vino.
“Tapi Jen jadi sendirian,” isaknya.
“Cup cup cup, sudah yah. Kan ada Abang sekarang, bagaimana kalau sekarang Abang temenin kamu ke rumah teman kamu itu untuk mengerjakan tugas kelompok?”
Jen melepas pelukannya dan menengadahkan kepalanya, “Serius Bang?”
“Yupz, ayo bergegas ganti pakaianmu. Pulangnya kita makan ice cream dulu supaya kamu gak sedih terus.”
“Yess,, makasih Abang. Abang yang terbaik.” Jen mengecup pipi Vino dan berlari memasuki rumahnya. Vino hanya tersenyum melihat tingkah Jen itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar