Jumat, 02 Agustus 2019



TA'ARUF



Prolog
                Keluargaku begitu mempermasalahkan statusku yang masih melajang di usiaku yang ke 30 tahun. Apa itu seperti aib?
                Sampai mereka mejodohkanku dengan putra sulung dari sahabat Umi. Pria itu begitu tampan, dingin dan tak banyak berbicara. Bahkan bisa terhitung berapa kata yang keluar dari bibirnya dalam satu hari.
                Tetapi bukan itu yang membuat Aisyah kurang setuju. Usia pria itu 3 tahun lebih muda darinya, bagaimana mungkin dia menikah dengan pria yang usianya berada jauh di bawahnya.
               








Bagian 1
(AIsyah Pov)

Nazma Siti Aisyah adalah nama lengkapku, dan teman-temanku biasa memanggilku dengan nama AIs. Baru satu tahun ini aku lulus tes CPNS dan kini aku bekerja menjadi seorang guru Matematika di sebuah Sekolah Dasar di kota hujan alias Bogor.
“AIs, kapan kamu akan membawa calonmu datang?” pertanyaan itu sudah sering sekali Oma tanyakan padaku bahkan sehari bisa sampai tiga kali, saat akan berangkat bekerja, pulang bekerja dan saat akan tidur. Sudah seperti meminum obat.
“Oma, ini masih pagi dan aku baru akan berangkat mengajar.” Aku sudah lelah mendengar pertanyaan ini berulang kali. Aku putuskan untuk segera berangkat dan sarapan di sekolah saja.
“Kau ini selalu saja begitu, bisanya hanya ngeles dan menghindar. Kalau kamu tidak segera membawa calon, biar Oma dan kedua orangtuamu saja yang carikan jodoh untukmu.” Oma terus saja berbicara. Umi dan Abi hanya diam tak membantuku, uch menyebalkan sekali!
“Oma, sudah aku jelaskan, mungkin Allah belum mengijinkan aku bertemu jodohku.”
“Jawabanmu itu, jodoh tuh jangan hanya di tunggu, tapi kamu cari,” ucap Oma selalu tak ingin kalah kalau sudah berdebat. “Usia kamu sudah kepala tiga, Ais. Bahkan teman-teman sebayamu saja sudah menikah dan memiliki anak. Oma lelah mendengar gunjingan para tetangga karena kamu belum juga menikah. Oma tidak rela mendengar kamu di katai perawan tua.” Terdengar nada lirih dari ucapan Oma barusan, astagfirulloh aku juga sedih mendengarnya.
“Oma, dengarkan aku. Oma jangan terlalu mendengarkan gunjingan mereka. Sudah jelas mulut mereka sudah terkontaminasi hasutan setan setan jahanam. Sebaiknya Oma doakan Ais, semoga dapat bertemu dengan jodohku. Doakan supaya Ais segera di dekatkan jodohnya. Oke Omaku tersayang.”
“Iya, tetapi kamu juga harus ikhtiar, Neng. Apa gak ada teman gurumu yang suka kamu?” Kini Umi yang bersuara membuatku ingin tertawa saja.
“Teman sekantorku semuanya rata-rata sudah memiliki istri dan anak. Umi mau aku jadi penganggu suami orang?”
“Astagfirulloh, amit-amit!” seru Umi dengan bergidik ngeri.
“Jangan sampai kau seperti si Kanaya itu,” seru Oma. Ya, Oma emang kini membenci Kanaya setelah kasus yang menimpa mbak Rima da bang Akbar. Ketulusan mbak Rima membuatku kagum, ia mampu mempertahankan suaminya dan menarik kembali suaminya ke dalam dekapannya. Keteguhan, kesabaran dan keikhlasannya itu membuatku sangatlah kagum.
“Sudah ah, pembicaraan ini tidak akan ada usainya. Aku berangkat dulu.” Aku mencium punggung tangan Oma, Umi dan Abi.
Aku lahir dari keluarga sederhana, Abi adalah seorang pensiunan TNI, kini sibuk mengurus usaha bengkelnya. Aku anak kedua dari dua saudara, dimana aku anak perempuan satu-satunya. Kakak pertamaku sudah menikah dan memiliki anak. Yang sudah membaca cerita Kakakku, bang Akbar pasti kalian akan mengetahui siapa aku dan asal usul keluargaku.
                Aku baru saja sampai di sekolah, hari ini aku akan mengajar di jam kedua karena jam pertama diisi pelajaran olahraga.
                Aku duduk di atas meja kebesaranku, aku teringat kata-kata Oma dan Umi tadi pagi. Sebenarnya aku bukan tidak berminat mencari jodoh atau berusaha dekat dengan seorang pria. Aku hanya telah berjanji...
                Aku menarik laci meja dan mengambil sebuah pigura dari sana. Aku menatap pigura dimana sosoknya begitu aku rindukan.
                “Mas Agung...”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar