Jumat, 02 Agustus 2019



AZAHRA



Sinopsis
         
“Ahhh!!!”
          Teriakan itu menggema di lorong rumah sakit yang begitu kecil malam itu. Seorang wanita muda yang begitu cantik tengah berjuang melahirkan bayi di dalam kandungannya.
          “Ayo Ibu sedikit lagi, tarik nafas lalu buang.” Intruksi dari Dokter dan segerdea di turuti oleh wanita itu.
          “Aaaahhhhhhhh!!!”
          Suara tangisan bayi pecah berbarengan dengan gema Adzan subuh. Ucapan syukur terucap dari perawat dan Dokter. Wanita yang baru saja melahirkan bayinya tampak terkulai lemah dengan keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Nafasnya tampak terengah berat, setetes air mata luruh dari sudut matanya. Bibirnya bergetar seakan ingin mengatakan sesuatu. Tetapi nafasnya kembali berat dan terengah, hingga ia menarik nafas panjang dan seketika matanya tertutup rapat.
          Suara nyaring dari kardiogram menyentakkan dokter juga perawat yang ada di sana. “Siapkan Defibrillator!”
          Seorang perawat memberikan alat itu ke arah Dokter. Beberapa kali Dokter memancing denyut jantung pasien tetapi tak ada perubahan hingga denyut itu menghilang.
          Innalillahi wa’inailahi rojiun.”
          Tangisan bayi masih menggema di sana seiring dengan hembusan nafas terakhir dari sang Ibu. Suasana di sana menjadi hening dan sedih apalagi tangisan bayi yang tak juga reda. Bayi itu bahkan belum menerima ASI dan nama dari sang Ibu.
***
          “Apa benar bayi itu putri anda?” tanya Dokter pada pria tinggi di hadapannya.
          “Iya, Zara adalah istri saya,” jawabnya dengan nada datar. Bahkan tatapan wajahnya tak menunjukkan raut wajah sedih sedikitpun.
          “Baiklah, anda bisa membawa bayi itu. Tetapi ada beberapa hal yang perlu anda ketahui.”
          “Ada apa?”
          “Kami baru mendiagnosis dan melakukan cek syaraf pada bayi Bapak. Putri Bapak mengalami gangguan DHH atau biasa di kenal dengan istilah Development Dysplasia Of The Hip. Ini jenis penyakit bawaan, ciri-cirinya kaki sebelah kiri lebih panjang dari kaki sebelah kanan.”
          Wajah pria yang awalnya menunjukkan wajah datar kini tampak kaget dan berubah jijik. “Apa anda tidak sedang menipu saya?” pekiknya.
          “Anda bisa memeriksanya, kakinya lebih panjang 1,5cm. Dan ini akan mempersulit proses kinerja kaki bayi saat belajar berjalan.”
***
















SATU...


Manhattan – Amerika Serikat

          SEORANG anak tengah berjalan dengan sebelah kakinya di seret, ia berjalan tergesa dengan membawakan beberapa tas milik Kakak-Kakaknya.
          “Zara, kau lama sekali!” teriak seorang anak perempuan yang memakai bando pink.
          “Maaf Mesya, aku sedikit kesusahan,” gumam gadis kecil itu.
          “Kakimu sudah cacat, lelet lagi!” ejek anak pria yang berdiri tak jauh darinya.
          “Ayo anak-anak cepat masuk ke mobil, nanti kalian terlambat ke sekolah.” Seorang wanita tua menengahi mereka membuat anak-anak itu berlari menaiki mobil SUV hitam yang terparkir di depan rumah.
          Ada 3 orang anak, 2 di antaranya laki-laki dan satu lagi perempuan. Ketiganya sudah naik ke dalam mobil hingga mobil itu berlalu pergi meninggalkan area rumah.
          Gadis cantik berjilbab bernama Zara hanya mampu menatap sedih ke arah Kakak dan adiknya yang berangkat ke sekolah.
          “Non Zara, ayo kita belajar,” seru wanita tua yang di kenal sebagai Masitoh, wanita asal Indonesia yang juga berjilbab.
          “Mbok, Zara juga pengen sekolah seperti Kak Alfa, Kak Rivaldo, dan Mesya.” Masitoh menatap sedih anak berusia 10 tahun di depannya ini. Sejak kecil Zara sudah di anggap seperti sampah di rumah orangtuanya sendiri. Bahkan dia tidak pernah di daftarkan ke sekolah manapun oleh Ayah kandungnya sendiri. Sekedar sapa pun mereka tak pernah melakukannya.
          “Ayo biar Mbok yang ajarkan kamu,” ucap Masitoh berusaha tersenyum walau matanya sudah berkaca-kaca.
          Masitoh adalah pembantu rumah tangga di keluarga Abraham Handoko, seorang pengusaha dari Indonesia yang merintis karir di Amerika Serikat dengan beberapa anak perusahaan. Abraham memang terkenal seorang pengusaha kaya raya yang memiliki wajah datar dan juga terkenal sombong, tetapi beliau juga di kenal sebagai pengusaha yang gemar menikah. Sudah 3 kali dia menikah, dan kini dia tinggal bersama istri ketiganya setelah menceraikan istri pertamanya dan istri keduanya yang meninggal dunia, tak lain adalah Ibu dari Azahra. Dan ketiga adalah seorang wanita cantik sosialita asal Amerika yang pernah merintis karir sebagai Modeling, ia adalah Ibu dari Meysa.
          Istri pertama Tuan Abraham adalah Nyonya Maura, Ibu kandung Alfando dan Rivaldo. Maura begitu baik dan penuh kasih sayang, dia juga menerima kedatangan Zara saat Abraham membawanya dulu. Mauralah yang merawat Zara, hingga akhirnya pertengkaran itu terjadi saat Zara berusia 5 tahun. Abraham ketahuan menikah siri dengan seorang Modeling yang saat itu singgah di Indonesia. Dan wanita itu memiliki anak perempuan berusia 3 tahun. Maura marah besar saat itu, ia tidak menerima kembali di madu. Dulu saat Abraham menikahi Zahra, Ibu kandung Azahra, Maura ikhlas karena ia tidak bisa melahirkan seorang anak perempuan. Tetapi kini, sudah ada Zara di antara mereka dan Maura sungguh tidak menerima alasan apapun dari Abraham walau pria itu berkata kalau Zara bukanlah anaknya. Abraham sama sekali tidak ingin mengakui Zara sebagai putrinya, karena keterbatasan fisik Zara. Bahkan Abraham enggan memberikan sebagian hartanya untuk Zara, dia malah meminta Zara bekerja sebagai pembantu di rumahnya dan akan di bayar dengan biaya makan sehari-hari anak itu.
          Maura yang tak bisa menerima Abraham menikah lagi hingga memiliki anak memilih cerai dan berharap hak asuh ketiga anaknya jatuh padanya. Tetapi kekuasaan Abraham lebih berkuasa, hingga Maura tak bisa mendapatkan hak asuh atas Alfa, dan Rival. Apalagi Zara yang bukan anaknya.
          Dan 3 tahun lalu, mereka semua pindah dari Indonesia ke Amerika Serikat karena pekerjaan Abraham.
          “Anak Cacat!” teriakan itu memekakan telinga Zara dan Masitoh yang tengah belajar mengaji dan beberapa pelajaran dasar lainnya.
          “Nyonya memanggilku, Mbok.” Zara berucap pelan, Masitoh hanya bisa mengangguk lemah dengan senyuman merekah, ia seakan memberikan kekuatan pada Zara. Ia tau kalau Nyonya Amanda memanggilnya pastilah dia akan di marahi.
          “Sebentar yah Mbok,” ucap Zara beranjak dari duduknya dengan susah payah. Masitoh segera membantunya untuk berdiri.
          Zara berjalan perlahan menuju kamar istri dari Ayahnya. “Nyonya memanggil saya?” tanya Zara saat sudah masuk ke dalam kamar.
          “Kau lihat kamar mandiku, kotor sekali! Apa saja kerjaanmu sih?” bentaknya.
          “Tetapi kemarin saya sudah membersihkannya.” Jawaban Zara membuat Amanda berang. Ia berdiri dari duduknya yang tengah bercermin. Ia berjalan mendekati Zara dan menarik lengannya membuat Zara mengaduh sakit dan kakinya merasa sakit saat di seret paksa.
          “Ah!” Zara mengaduh saat Amanda mendorongnya ke dalam kamar mandi.
          “Lihat noda hitam di bawah bathup!” pekiknya menoyor kepala Zara.
          “Tetapi kemarin sudah saya bersihkan,” jawabnya dengan bibir yang bergetar.
          “Kau bukan hanya pincang, tolol tetapi juga buta! Kau lihat noda itu masih ada. Sekarang bersihkan, atau kau tidak akan mendapatkan jatah makan malam!”
          Setelah mengomeli Zara, Amanda berlalu pergi meninggalkan Zara sendirian di dalam kamar mandi.
          Zara berangsur bangun dengan susah payah dan kembali ke dapur untuk mengambil peralatan membersihkan.
***


AKU INGIN KEMBALI



Bagian
1


            Muhammad Arsan Dwi Anggara adalah seorang owner sebuah Wedding Organizer di Bandung. Dia terkenal dengan nama Princes Dwi oleh semua pegawainya juga konsumennya. Usaha WO nya itu begitu terkenal di kota Bandung dan juga sekitarnya. Nama Princes Dwi sudah terkenal dimana-mana dan banyak orang yang mengetahuinya.
            “Bos,” seruan itu membuat sosok itu menoleh dan tersenyum kemayu.
            “Apa Chacha?” tanyanya.
            “Sekarang ada jadwal bertemu dengan client, capcus cin,” serunya juga dengan lenggak lenggok.
            Dia adalah asisten Dwi, namanya Chacha dan dia juga seorang waria.
            “Baiklah,” ucap Dwi.
            Dwi atau Arsan adalah seorang waria, sejak kecil dia memang merasakan sesuatu yang berbeda pada dirinya. Dia berbeda dengan laki-laki pada umumnya, terlebih dia menyukai sesame jenis dan dia menyadari itu sejak ia duduk di bangku SMA. Ada hasrat menggebu dan perasaan aneh di dalam hatinya saat melihat seorang pria tampan yang baik hati saat itu. Sosok pria yang ia kagumi dan begitu terkenal di sekolah.
            Kini mereka berdua sudah duduk di salah satu restaurant untuk bertemu dengan salah seorang clientnya.
            “Haduhh mana sih mereka, Lambreta deh ah,” gerutu Chacha.
            “Sabarlah, mungkin di jalan macet,” jawab Dwi. Dia memang seorang waria, tetapi dia lebih dingin dari waria biasanya, bahkan kata-katanya juga tak pernah menggunakan bahasa banci walau dia memahaminya.
            “Lapangan bola ekeu, mana sih pere sama lekong itu, males deh ah,” gerutu Chacha yang tak di tanggapi Dwi. Dia focus memainkan gadgetnya dan mengetik sesuatu di sana.
            “Eh Bos, Looking looking,” seru Chacha heboh.
            “Apa sih Cha?”
            “Liat noh Lekong, uhhh ganteng badai cin, tipe akikah banget itu. Uhh rasanya pengen ekeu cumi cumi diana!” ceroscos Chacha dengan heboh hingga membuat oang- orang di sekitarnya meirik ke arahnya.
            ‘Aditya?’ batin Dwi sedikit kaget melihat sosok itu.
            Dwi memegang dada bagian kirinya, dia adalah pria pertama yang membuat jantungnya berdebar cepat juga membuatnya menyadari sesuatu yang berbeda pada dirinya, kalau dia menyukai sesame jenis.
            “Permis Princes Dwi, Mbak Chacha, maaf kami terlambat,” ucap seseorang.        
            “Aduh iyey, lambreta sekali kalian. Ekeu udah jayus tau kelamaan nunggu kalian!” seru Chacha.
            “Maaf, tadi ban mobilku bocor,” seru pria yang bersama wanita itu.
            “Ya sutralah, duduk duduk.” Merekapun duduk di hadapan Chacha dan Dwi. “Jadi gimana Bos?”
            Dwi masih diam membisu dengan pandangan yang kosong. “BOS!” pekik Chacha dengan suara cemprengnya membuat Dwi meringis.
            “Apa sih Cha?” seru Dwi dengan sedikit kesal.
            “Ini mereka sudah tiba, iyey melamun aja.”
            Dwi merubah raut wajah kerasnya menjadi lunak dan tersenyum pada dua orang di hadapannya.
            “Ah maafkan saya, jadi kita mulai saja. Kami sudah membawakan beberapa konsep untuk acara resepsi pernikahan dari paket sederhana hingga glamour,” ucap Dwi.
            “Ini Cyin,” Chacha menunjukkan majalahnya dan pasangan di depan mereka mulai focus melihat beberapa konsepnya.
Φ
            “Hai Arsan,” sapa seseorang saat Dwi hendak menaiki mobilnya.
            “Dwi, Sit, Dwi. Astaga Sita, berhenti memanggil nama itu,” gerutu Dwi.
            “Memangnya kenapa? Namanya bagus kok,” goda Sita membuat Dwi menggerutu.
            “Loe kenapa datang ke kantor gue? Gak kerja?” Tanya Dwi.
            “Udah pulang, gue kebagian shift pagi. Nebeng pulang dong,” serunya seraya menampilkan cengiran lebarnya.
            “Kebiasaan loe datang ke sini Cuma mau minta gue anterin, bukan nebeng namanya kalau beda arah tapi minta anterin,” seru Dwi membuat Sita terkekeh.
            “Tah maneh apal,” kekeh Sita membuat Dwi mencibir.
            Mereka berdua menaiki mobil dan mobil itu perlahan bergerak meninggal area parker kantor WO Dwi.
            Sita Saraswati adalah sahabat Arsan dari sejak SMP dan hanya SIta sahabat satu-satunya yang tersisa dan bertahan di samping Dwi.
            “Makan dulu kali Bos, laper nih,” seru SIta.
            “Ck, loe selalu malak gue,” keluh Dwi.
            “Gak apa-apa, lagian gue selalu menjadi pendengar yang baik dan sabar mendengarkan curhatan loe yang sepanjang sungai nil. Setebal Novel Stay With Me,” kekeh Sita.
            “Iye iye, kasian juga budak batur kelaperan,” kekeh Dwi.
            “Tuh tau,” kekeh Sita.
            Mereka mampir ke pedagang kaki lima penjual pecel dan soto. Sita langsung memesan makanannya begitu juga Dwi.
            Tak butuh waktu lama pesanan merekapun datang dan Sita langsung melahapnya, begitu juga dengan Dwi.
            “Sit,”
            “Hmm,” seru Sita focus menyuapkan makanannya.
            “Gue mau ngomong sesuatu,” ucap Dwi.
            “Ntar dulu yah curhat sepanjang sungai nil nya, gue harus siapkan diri dulu dengan mengisi amunisi,” ucap Sita mengangkat telunjuknya di depan wajah Dwi.
            “Ck, gue serius nih. Bukan mau curhat,” ucap Dwi.
            “Ya ya loe selalu bilang begitu dan tanpa di sangka omongan loe kagak berhenti-henti dan terus nyeroscos sampai tak terasa malam pun sudah berubah menjadi pagi,” ucap Sita.
            “Gue ketemu Aditya,” seru Dwi.
            Oho oho oho
            “A- siapa?” Tanya SIta.
            “Aditya,” ucap Dwi.
            “Aditya kakak kelas kita waktu SMA?” Tanya SIta yang di angguki Dwi.
            “Dan loe tau, setelah 10 tahun berlalu dan jantung ini masih tetap berdetak saat melihatnya. Dia juga tampak semakin tampan dan gagah. Brewoknya juga begitu seksi,” seru Dwi berseri-seri.
            “Hmm, lalu brondong kesayangan loe itu si Danis mau di kemanain?” Tanya Sita.
            “Gue akan memutuskannya demi Adit,” ucap Dwi dengan senyuman kemayunya membuat Sita menggelengkan kepalanya.
            “Loe mempunyai PR untuk meluluhkan Adit, jadi jangan main putusin aja brondong kesayangan loe itu,” ucap Sita yang tak pernah mengkritik Dwi apalagi sampai menyinggungnya. SIta begitu pengertian dan memahami Dwi, dan itulah yang membuat Dwi begitu menyayangi Sita. DIa bahkan bisa menjadi bodyguard bagi SIta kalau Sita di sakitin pria atau di ganggu seseorang.
            “Lu benar, gue masih punya tugas besar dan mungkin juga sulit,” kekeh Dwi.
            “Udah habisin makan loe, kasian tuh ayam di anggurin.” Ucap SIta.
            “Cepet amat makan loe kayak kereta api,” seru Dwi.
            “Kata orangtua tuh gak boleh makan lama-lama, pamali,” seru Sita yang di jawab anggukan singkat dari Dwi.
Φ

AKU BUKAN PELAKOR (Lanjutan SCUI)


Prolog
                Kehidupan Kanaya yang hancur setelah di campakkan oleh Akbar, ia kembali bertemu dengan seorang pria yang merupakan atasannya di kantor.
                Pria itu tampak penuh perhatian dan menyimpan perasaan kepada Kanaya. Dan perlakuannya membuat Kanaya sedikit risih. Apalagi pria itu sudah menikah dan memiliki istri juga anak-anak yang sudah cukup dewasa.
                Kanaya sedikit tergoda oleh perlakuan bosnya itu yang mampu membantunya melupakan Akbar.
                Hingga suatu hari bosnya itu melamar dia untuk menjadikan Kanaya sebagai istri keduanya.
                Haruskah Kanaya menerima lamaran itu?









Satu
                Sudah satu bulan Kanaya bekerja di sebuah perusahaan jasa pengiriman, sebagai Custamer Service. Kanaya cukup menikmati pekerjaan itu yang sungguh menguras waktunya untuk selalu melayani pelanggan yang datang.
                Waktu istirahat telah datang, Kanaya merenggangkan kedua tangannya dan mengambil handphone miliknya dari dalam laci mejanya. Ada pesan chat masuk kepadanya.
                Ia tertegun saat melihat apa yang ada di layar handphone nya. Chat itu berisi foto keluarga Akbar dengan caption.
                Lupakan dia sekarang, Naya. Dia sudah bahagia dan sekarang kamu gapailah kebahagiaanmu sendiri. Kamu berhak bahagia...

                Kanaya menghela nafasnya lelah. “Andai moveon itu semudah membalikkan tangan, mungkin sudah aku lakukan,” gumamnya.
«»
                “Mau pulang, Naya?” pertanyaan itu menghentikan langkah Kanaya.
                “Pak Hamid?” gumam Kanaya saat seseorang menghentikan mobilnya tepat di sampingnya.
                “Pulang sendirian? Ayo biar aku antar,” seru Hamid diiringi senyumannya.
                “Tidak perlu Pak, kontrakanku dekat dari sini,” seru Kanaya.
                “Tidak masalah, ayo naik. Daripada berjala kaki sendirian. Ini juga sudah malam,” seru Hamid tampak berusaha membujuk Kanaya.
                Kanaya tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya ia setuju dan naik ke dalam mobil Hamid.
                “Bagaimana pekerjaan hari ini? Apa ada lagi nasabah yang membentakmu?” tanya Hamid mencairkan suasana seraya menyetir mobilnya.
                “Alhamdulillah tidak ada Pak, kemarin itu mungkin kebetulan saja aku sedang sial,” kekeh Kanaya.
                “Ah syukurlah kalau begitu.” Hamid tersenyum puas. “Sebenarnya aku sangat salut padamu, lho. Kemarin kamu begitu tenang menghadapi custamer yang menyebalkan itu.”
                “Itu bukan masalah besar, Insa Allah saya akan berusaha menghandle apapun yang merupakan pekerjaan saya,” jawab Kanaya.
                Hamid tanpa sadar memperhatikan wajah Kanaya yang cantik dan ia tersenyum penuh arti.
                “Sudah sampai, Pak.” Kanaya menyadarkan Hamid dari keterpakuannya.
                “Disini?” seru Hamid meminggirkan mobilnya. “Dimana kostan kamu?”
                “Masuk ke gang itu, tidak terlalu jauh hanya terhalang dua bangunan saja. Terima kasih untuk tumpangannya Pak. Selamat malam.”
                Kanaya menuruni mobil Hamid seraya mengucapkan salam dan berlalu pergi.
                “Kanaya, kamu sungguh sangat istimewa,” gumam Hamid tersenyum, kemudian menjalankan mobilnya.
«»
                        Kanaya berdiri menatap jendela di kostannya dengan segelas kopi di tangannya. Bayangannya kembali menerawang ke pesan dari salah satu temannya Wina di Jakarta. Wina mengetahui seluk beluk kisah dirinya dan Akbar.
                        Dan pesannya tadi membuat Kanaya semakin merasa malu dan sangat menjijikan. Sampai detik ini pun kenapa harus merasakan sakit?
                        Aku bukanlah pelakor... itulah jeritan hatinya.
                        Terus berusaha memungkiri walau hati itu masih ada untuk Akbar.
                        Dering handphone menyadarkan lamunannya. Ia berjalan mendekati ranjang dan mengambil handphone nya seraya menyimpan mug gelasnya di atas meja nakas.
                “Wina...” gumamnya dan mengangkat sambungan telpon itu.
                “Hallo Assalamu’alaikum,”
                “....”
                “Alhamdulillah gue baik dan semuanya gak ada masalah.”
                “.....”
                “Lu gak salah, jadi gak perlu minta maaf. Kenyataannya memang Akbar sudah bukan milik gue. Dia sudah menemukan tambatan hatinya.”
                “.....”
                “Itulah yang saat ini sedang gue usahakan. Melupakannya,” gumam Kanaya.
                “....”
                “Lu pikir mudah cari pendamping, apalagi status gue yang seorang janda. Gak akan semudah itu Win.”
                “....”
                “Lu tenang saja, gue gak akan menghubungi dia lagi. Gue akan berusaha melupakan perasaan masalalu gue dan berusaha mengobati luka ini.”
                “....”      
“Lu meragukan gue?”
                “.....”
                “Gue yakin sama Allah. Allah tidak akan menjerumuskan gue ke hal yang negative. Insa Allah gue ikhlas.”
                “.....”
                “Wa’alaikumsalam...”
                “Aku yakin aku bisa melakukan melupakan segala hal tentang Akbar.”
                “Karena aku bukan pelakor.”
                Kanaya bergumam dengan tatapan mata penuh keyakinan.

«»

Secret Garden (Fantasi)


Prolog
                Seorang pria dengan bola mata hijau yang indah nan tajam, tampak pakaian mewah dan jubah khas bangsawan tampak berlari menerobos hutan gelap yang curam dan menakutkan. Lengannya terluka parah, darah begitu deras mengalir membasahi pakaian mewahnya dan juga jubahnya. Tangannya yang sebelah lagi memegang pedang tajam dengan pegangan emas dengan ukiran dua ekor naga dengan butiran batu permata indah di sekelilingnya. Tampaknya pedang itu begitu berat hingga pria itu mendereknya.
                Cukup lama ia berjalan hingga sampai di sebuah tempat begitu indah di tengah hutan. Tempat itu seperti taman yang asri dan masih tampak belum terjambah orang. Warna warni bunga memenuhi area itu dengan sebuah danau kecil dengan air terjun dengan air yang begitu jernih.
                “Tempat apa ini? aku baru mengetahui ada tempat begitu indah di tengah hutan,” gumamnya.
                Pria itu berjalan menuju danau dengan air terjun itu. Airnya begitu jernih hingga bebatuan yang menjadi dangkal dari danau itu terlihat jelas. Ia duduk di sisi danau dengan menyimpan pedangnya. Ia merobek kain dan membasuh lukanya yang cukup dalam. Sekuat tenaga ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit di lukanya itu. Cukup lama ia membersihkan lukanya, hingga hari semakin gelap tanda hari akan segera berganti malam dan hutan ini akan semakin menyeramkan.
                Telinganya yang tajam mendengar langkah kaki kecil berjalan mendekatinya. Ia bergegas berdiri dengan menderek pedangnya dan bersembunyi di balik pohon besar yang ada di sekitar danau itu. Tak lama datanglah seorang gadis berkerudung selendang berwarna putih. Gadis itu mendekati danau dan mengambil air ke dalam ember yang di bawanya. Saat ia hendak kembali, tatapannya tertuju pada sobekan kain dari pakaian pria tadi. Ia berjalan mendekati sobekan kain yang terdapat darah dan mengambilnya.
                “Ada sobekan kain dan ini darah, apa ada orang yang datang ke sini?” gumamnya celingak celinguk kesana kemari mencari sosok itu. “Ini adalah tempat rahasia, bagaimana mungkin ada orang yang bisa sampai kemari.”
                Seketika angin berhembus dan menerpa kerudungnya hingga kain itu terbang dan jatuh ke dekat seseorang yang sedang bersembunyi. Pria yang sedang bersembunyi tadi menganga dan melotot saat gadis itu berbalik dengan rambut panjangnya yang terurai. Gadis dengan bola mata coklat madu itu begitu cantik, bahkan lebih cantik dari seorang bidadari. Kulitnya yang seputih kapas dan berseri, rambutnya yang hitam legam begitu kontras dengan kulit dan bola matanya.

                Pria tadi sampai tak berkedip melihat pemandangan seorang bidadari tak jauh darinya berdiri yang kini berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

The Game Demons (Horor)



Prolog
          “Erlina,”
            “Nenek,” gumamnya menatapnya dengan polos.
            “Ayo kita harus pergi dari sini,” ajaknya menarik tangan Erlina. Gadis kecil yang masih berumur 6 tahun.
            “Tapi kita akan kemana?” tanyanya dengan polos.
            “Kita harus pergi dari sini,” ucapnya memaksa Erlina.
            Mereka bergegas mengambil tas yang ternyata sudah di siapkan dan segera beranjak keluar dari rumah petak itu.
            “Nenek, tapi Mama dan Papa akan pulang hari ini,” ucap Erlina.
            “Tidak sayang, mereka tidak akan pulang,” ucap Nenek yang berjalan menuju pintu keluar belakang.
            “Kenapa?”
            “Karena mereka tidak akan pernah kembali,” ucapnya penuh tanda tanya.
            Erlina masih tampak bingung dengan perkataan dari sang Nenek, ia mengikuti langkah Nenek yang terseok-seok karena termakan usia dan sudah tak mampu lagi berjalan jauh.
            “Nenek tidak apa-apa?” tanya Erlina saat Nenek itu memilih duduk di trotoar yang sepi.
            “Erlina, dengarkan Nenek,” ucapnya menggenggam tangan Erlina dengan erat. “Kamu adalah gadis yang sangat kuat, kamu di lahirkan untuk menjadi seseorang yang berarti. Dengar, apapun yang terjadi kau pergilah dan berjalan terus jangan menoleh ke belakang. Di ujung jalan sana, tante Vio menunggumu.”
            “Lalu Nenek?”
            “Jangan pikirkan Nenek,” ucapnya. “Dengar sayang, situasinya tidak mendukung. Kamu harus pergi sekarang juga, dan abaikan apapun yang kamu lihat,” ucapnya.
            “Tapi kenapa?” tanya Erlina kecil yang hendak menangis.
            “Maafkan Nenek, ini salahku.” Nenek memeluk tubuh kecil Erlina dan menyuruhnya segera pergi.
            “Nenek-“
            “Pergi Erlina, sekarang! Jangan menoleh ke belakang apapun yang terjadi,” ucapnya membuat Erlina menurut dan berlari menjauh dengan isakan tangisannya.
*** 
ISTRI BAYARAN


Prolog
            “Sah!”
            Aku menghelas nafas lega saat ucapan sakral itu terlontar. Aku menoleh ke arah pria di sampingku yang duduk dengan tenang dan tatapan lurus ke depan. Entah apa yang dia rasakan saat ini.
            Kami menikah bukan karena sebuah ikatan cinta dan kasih. Kami menikah karena sebuah kesepakatan, sebuah perjanjian yang di setujui oleh kami berdua. Bisa di bilang ini adalah sebuah keterpaksaan.
            Tetapi inilah dan di sinilah kisahku di mulai. Kisahku bersama dengan seorang pria yang sudah pernah menikah sebelumnya. Seorang pria yang dulu pernah menjadi teman satu SMAku. Seorang pria yang dulu pernah aku sukai dalam diam. Seorang pria yang pernah mengambil first kissku. Ya dialah pria itu,,
            Setelah sekian lama berpisah, kini kami harus bersama dalam sebuah ikatan pernikahan tanpa ada cinta.
            Yah, Tanpa Cinta....

Chapter 1
            “Sah!”
            Aku menghelas nafas lega saat ucapan sakral itu terlontar. Aku menoleh ke arah pria di sampingku yang duduk dengan tenang dan tatapan lurus ke depan. Entah apa yang dia rasakan saat ini.
            Kami menikah bukan karena sebuah ikatan cinta dan kasih. Kami menikah karena sebuah kesepakatan, sebuah perjanjian yang di setujui oleh kami berdua. Bisa di bilang ini adalah sebuah keterpaksaan.
            Tetapi inilah dan di sinilah kisahku di mulai. Kisahku bersama dengan seorang pria yang sudah pernah menikah sebelumnya. Seorang pria yang dulu pernah menjadi teman satu  SMAku. Seorang pria yang dulu pernah aku sukai dalam diam. Seorang pria yang pernah mengambil first kissku. Ya dialah pria itu,,
            Setelah sekian lama berpisah, kini kami harus bersama dalam sebuah ikatan pernikahan tanpa ada cinta.
            Yah, Tanpa Cinta....
            Aku Violeta Andriani, aku gadis kelahiran Jakarta 24 tahun lalu. Saat ini, namaku berubah menjadi Violeta Prasatyo, karena detik inipun aku sudah sah menjadi seorang istri dari Randy Prasatyo.
            Aku tersadar saat sesuatu yang keras dan dingin menyentuh jariku, aku menoleh ke arah tanganku yang ternyata tengah di sematkan sebuah cincin berlian indah oleh suamiku. Aku menoleh padanya yang juga tengah menatap ke arahku. Aku segera mengambil cincin lainnya untuk di sematkan ke jari manisnya. Setelahnya aku mencium tangannya dan dia mengecup keningku dengan begitu khidmat.
            Acara demi acarapun berlangsung dengan khidmat. Hingga malam menjelang, sekarang aku dan dia pulang ke rumah miliknya, bukan hotel ataupun rumah orangtuanya atau aku, melainkan rumahnya. Rumah yang dulu ia tempati bersama mantan istrinya.
            “Kamar utama ada di ujung ruangan di lantai dua, kamu masuklah lebih dulu.” Aku menoleh padanya saat mendengar ucapannya itu. Akupun mengangguk lirih dan beranjak memasuki kamar yang ia tunjukkan.
            Sesampainya di kamar berwarna putih abu yang begitu luas itu, aku berjalan lebih dalam lagi dan menatap sekeliling ruangan. Jangan pikirkan kalau kamarnya di sulap jadi seromantis mungkin, dengan tebaran kelopak bunga mawar, anggur, lilin atau sejenisnya. karena kamar ini begitu bersih, bersih tanpa ada noda sedikitpun. Apalagi tak banyak furniture yang ada di sini, hanya ranjang king size dengan kepala ranjangnya ukiran naga. Lalu meja rias, meja sudut, sofa dan juga pemandangan indah yang mampu di lihat dari jendela kaca yang juga memiliki pintu penghubung ke balkon kamar yang tak terlalu luas. di sudut kanan ranjang, hampir dekat dengat sofa panjang dan juga TV LED ada pintu berwarna putih, aku yakin itu adalah kamar mandi.
            Melihat pintu kamar mandi itu, aku merasa ada panggilan alam yang memintaku untuk segera masuk ke sana dan membasuh tubuhku yang terasa ringkih dan lelah ini. Aku berjalan mendekati pintu itu, dan menekan knop pintu. Kamar mandi ini terdominasi dengan warna gold yang begitu indah hingga seperti emas yang menempel di setiap dinding kamar mandi. Kamar mandinya begitu luas, dengan sebuah jazzuci besar berada di sudut ruangan tepat di dekat ruangan shower. Aku berdiri di depan cermin besar di depan wastafel yang juga memiliki mangkuk besar berwarna gold. Tepat di belakangku ada sebuah ruangan tanpa pintu, hanya tirai tipis yang menutupinya. Aku yakin itu adalah walk in closet. Randy tadi sudah bilang kalau pakaianku sudah ada di dalam sana dan tinggal menggunakannya.
            Aku masih tidak bisa menyangka kalau sekarang aku sudah menikah dengan Randy Prasatyo, teman sekelasku dulu waktu SMA. Walau usia kami terpaut satu tahun, karena Randy berusia 25 tahun saat ini. Aku masih tak percaya akan kenyataan ini, Randy adalah siswa terpopuler di sekola kami saat itu, banyak sekali wanita yang menginginkan menjadi kekasihnya. Berbeda denganku, aku hanya seorang siswi dari anggota OSIS yang tak begitu terkenal. Walau kami sekelas, tetapi hubungan kami tak dekat dan saling tegur sapa. Dia terlalu sibuk dengan kepopulerannya hingga tak mampu melihatku. Dia juga pria yang dulu mencuri ciuman pertamaku. Itu kejadian yang membuatku sakit hati sekaligus bahagia. Karena aku tak memungkiri kalau aku memang menyukainya sama seperti gadis-gadis lain. Tetapi aku lebih senang memendamnya daripada mengumbarnya seperti wanita lain.
            Saat itu aku mendapat tugas untuk membersihkan ruangan OSIS, dan saat aku keluar ruangan tiba-tiba saja seseorang menarik tubuhku dan mencium bibirku. Aku yang berusaha mengumpulkan kesadaranku langsung mendorong tubuh pria itu yang tak lain adalah Randy. Aku melotot ke arahnya yang terlihat mengusap bibirnya dengan senyuman mengerikannya. Dia bilang ke temannya kalau dia memenangkan taruhan itu, dengan mencium seorang anggota OSIS. Mendengar itu semua aku ingin sekali marah, tetapi aku tak mampu melakukan apapun. Dia pergi begitu saja dengan membisikan kata menjijikan. Dan dari sejak saat itu aku memutuskan akan melupakannya dan tak akan pernah mengakui kalau aku pernah menyukai pria sombong itu.
            6 tahun aku tidak pernah bertemu dengannya, 6 tahun juga aku tak pernah mendengar kabar darinya. Aku sibuk dengan kuliahku dan Faisal, mantan kekasihku sebelum akhirnya aku bertemu kembali dengan Randy.
            “Violet,”
            Panggilan itu menyadarkanku dari semua kenangan yang telah berlalu. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan menatap pantulan diriku di depan cermin besar di hadapan itu. Wajahku terlihat cantik dan begitu pangling, karena riasan itu. Aku mengangkat kedua tanganku untuk menggapai zipper yang ada di belakang gaun putih yang ku kenakan, tetapi gerakanku terhenti saat pintu di buka begitu saja membuatku terlonjak kaget.
            “Ran, em- ada apa?” tanyaku saat Randy berdiri di ambang pintu menatapku dengan intens.
            “Cepatlah membersihkan dirinya, ada yang ingin aku bicarakan.” Setelah mengatakan itu, iapun berlalu pergi meninggalkanku sendiri.
            Aku segera mengunci pintu kamar mandi setelahnya aku membersihkan diriku di bawah guyuran shower.
            30 menit sudah aku menyelesaikan ritual mandi dan memakai gaun tidur yang menutupi seluruh tubuhku. Syukurlah ada banyak pilihan pakaian yang memang layak di gunakan, aku tidak ingin memakai gaun tipis atau lingerie di depan Randy. Aku melangkahkan kakiku keluar kamar mandi, dan langsung di sambut oleh tatapan tajam milik Randy yang duduk dengan angkuh di sofa yang berada tepat di depan pintu kamar mandi.
            “Duduklah,” ucapnya dengan nada perintah membuatku mau tak mau berjalan ke arah sofa yang ada di sebelah kirinya dan duduk di sana dengan berusaha menampilkan wajah datarnya.
            “Aku ingin membahas mengenai pernikahan ini. Kamu tau bukan, kalau aku menikahimu karena aku terpuruk di gugat cerai oleh istri pertamaku.” Aku menganggukkan kepalaku menyetujui perkataannya. “Dan kau juga yang gagal menikah dengan kekasihmu, yang kau pacari 5 tahun ini.” Mendengar ucapannya entah kenapa seperti di siram air keras tepat di hatiku.
            Faisal....
            Dia mundur begitu saja saat acara pernikahan kami sudah berada di depan mata, sebulan lagi kami menikah dan dia tiba-tiba saja mundur dengan alasan belum siap. Yah, keluargaku murka, dan bukan hanya itu akupun terpuruk. Apalagi Faisal mendadak hilang begitu saja, keluarganya pun malah meminta maaf dan tak bisa membantu apapun. Aku menyerah dan putus asa, hatiku hancur berkeping-keping hingga aku bertemu kembali dengan Randy. Dan sialnya Randy menawarkan kesepakatan yang sangat konyol dan gila, dan lebih gila lagi karena aku menyetujuinya.
            “Ini adalah surat kontrak pernikahan kita,” ucapnya membuatku menoleh padanya dan menatap ke arah kertas yang ada di hadapannya.
            “Apa yang kau harapkan dariku?” tanyaku dengan nada dingin.
            “Anak!”
            Deg
            “Aku ingin kau memberiku seorang anak, setelah itu kita akan bercerai dan hak asuh anak akan jatuh kepadaku.”
            “What The Hell?”
            Aku memekik tanpa sadar. Apa maksud pria gila ini...
            “Kau tidak perlu kaget Violeta, aku akan menjamin segalanya, perekonomianmu dan keluargamu. Aku akan terus menjaminnya seumur hidupmu dengan syarat kau tidak akan pernah muncul di hadapanku dan anakku suatu saat nanti. Aku ingin anakku mengenal Soraya sebagai Ibunya.”
            “Soraya?”
            “Yah, setelah menceraikanmu. Aku akan menikah kembali dengan Soraya,” ucapnya tanpa ekspresi.
            “Kau begitu serakah Randy! Kau pikir hartamu bisa membayar harga seorang Bayi?” tanyaku dengan sinis. “Aku memang gila saat itu karena begitu saja menerima lamaranmu tanpa berpikir apa maksud dari lamaran mendadakmu itu, tetapi saat sekarang aku mengetahuinya seperti ini. Aku lebih baik tidak menikah sama sekali, dan berusaha menutupi semua kerugian yang di alami keluargaku tanpa bantuanmu!” aku mengatakannya dengan lantang dan menatap matanya dengan tajam.
            “Kalau kau ingin menikah lagi dan bercerai denganku, maka lakukan sekarang juga! Ayo kita bercerai sekarang juga, jangan pernah berharap aku akan memberimu seorang anak!”
            Aku menantangnya, walau aku tau tatapannya sudah menggelap menahan emosinya. Tetapi sungguh aku tidak perduli. Hanya wanita gila dan berhati iblis yang rela menjual anak kandungnya demi harta semata.
            “Kau tidak punya pilihan, Vi.” Dia mengatakannya dengan begitu tenang. “Karena aku tidak akan menceraikanmu sebelum kau hamil.”
            “Dan kalau kau menolak melayaniku, maka aku akan dengan senang hati memperkosa istriku sendiri!”
            Deg
***

MARRIAGE WITH MR. OLD


Prolog
                “Sah!”
                Seruan itu memenuhi rumah dimana akad nikah pasangan ini di gelar.
                Kiara menghela nafasnya dan menatap Tante yang berada di sisinya dengan sendu.
                “Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri dari seorang pria. Tante sangat terharu,” seru wanita itu penuh ke Ibuan.
                Kiara hanya menampilkan senyuman kecil di bibirnya. Sesungguhnya hatinya tidaklah bahagia.
                Bagaimana bisa ia bahagia, ia di jodohkan begitu saja dengan teman dari Pamannya yang usianya jauh di atasnya. Dan dirinya masih 18 tahun, baru saja lulus Sekolah Menengah Atas.
                Apa yang akan ia hadapi kedepannya, sebagai seorang istri dari pria yang ia ketahui begitu dingin dan jarang sekali berbicara.
                Bagaimana nanti kehidupan rumah tangganya?





Satu
                Kiara menatap rumah besar itu dengan tatapan penuh kekaguman.
                Wow...! batinnya.
                Ia tidak menyangka pria yang kini menjadi suaminya begitu kaya raya dan seorang Milyader. Rumahnya ini bak seperti istana di dalam cerita dongeng.
                “Kamar kita di lantai atas,” seruan itu membuat Kiara menoleh ke sumber suara.
                Pria itu tampak dingin dengan setelan formalnya.
                “Kamar kita?” gumam Kiara sempat bergidik.
                Astaga dia lupa sekarang dia ini siapa. Kenapa harus kaget mendengar kata kamar kita.
                “Salah satu pelayan akan mengantarmu ke kamar, beristirahatlah.” Pria itu berbalik ke arah pintu meninggalkan Kiara begitu saja dalam kebingungan.
                “Tuan!”
                Pria tadi menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Kiara.
                “Emm anda mau kemana?” tanya Kiara entah kenapa menatap tatapan tajam itu membuatnya menjadi gugup.
                “Kantor.”
Setelah mengatakan itu, pria itu melanjutkan langkahnya dengan tenang dan elegant meninggalkan Kiara dalam kedongkolan.
                “Mari Nyonya, saya antar anda ke kamar utama,” seru salah satu pelayan menyadarkan Kiara.
                “Panggil Kiara saja,” jawabnya dan berjalan mengikuti pelayan perempuan itu.
                Kiara sampai menganga melihat situasi sekitar yang sangat luas dan sangat mewah terdapat lorong dan beberapa ruangan yang membuat Kiara pusing sendiri. Ia bahkan tak yakin akan mengetahui jalan menuju area lain.
                “Ini kamar anda, Nyonya. Silahkan.”
                Kiara masuk ke dalam kamar yang dua kali lebih luas dari miliknya. Kamar itu berwarna putih dan sangat membosankan, kontras sekali dengan pemilik kamar ini.
                Koper yang di bawa pelayan tadi, di bawanya dan di rapihkan dalam ruangan walk in closet. Kiara masih mematung menatap sekeliling kamar yang tak banyak perabotan.
                Menurutnya mubajir sekali memiliki kamar begitu luas dan tidak begitu banyak barang di dalamnya.
                “Semua barang telah saya rapikan, apa masih ada yang anda butuhkan?” tanya pelayan itu.
                “Tidak ada, terima kasih.”
                Pelayan itu mengangguk dan berpamitan pergi.
                Kiara berjalan mendekati sisi ranjang seraya melepaskan tas ransel yang sejak tadi ia gendong. Ia membuka tas itu dan mengeluarkan pigura kecil dari dalam sana.
                “Ma, Pa,” gumamnya mengusap foto yang ada di dalam pigura itu.
                “Kini aku sudah menikah dengan seorang pria bernama Abian Bima Adirajada. Dia adalah teman dari Paman,” seru Kiara.
                “Aku tidak mengenalnya, memang sih aku sudah beberapa kali bertemu dengannya saat ia datang ke rumah menemui Paman. Tetapi kami sama sekali tidak pernah saling menyapa atau berkomunikasi. Dia juga bahkan tidak melamarku, Paman dan Bibi menikahkan kami.”
                “Apa keputusanku salah, Ma, Pa? Aku hanya tidak ingin terlalu lama merepotkan Paman dan Bibi. Mereka masih memiliki anak-anak yang harus mereka perhatikan,” seru Kiara.
                “Kini aku juga di bawa ke Jakarta, kota yang bahkan tak pernah aku datangi sekalipun. Aku tidak tau rencanaku ke depannya akan bagaimana, dan bagaimana dengan cita-citaku. Aku sungguh tidak tau.”
                “Ma, Pa, sekarang Kiara sudah menyandang status Nyonya Abian yang sepertinya dia orang penting. Rumahnya saja sudah seperti istana di kerajaan, begitu besar dan mewah. Aku sungguh merasa sangat asing di sini.”
                Kiara menghela nafasnya dan kembali menatap sekeliling kamar. Merasa tak ada yang bisa ia lakukan, ia akhirnya memutuskan untuk mandi dan beristirahat saja.
                Abian masuk ke dalam kamarnya dan mata tajamnya langsung menangkap sosok mungil yang tengah terlelap, bergelut di balik selimut tebal nan halus.
                Ia berjalan mendekati Kiara dan mengambil duduk di sisi ranjang. Ia menatap wajah imut nan cantik Kiara, tangannya terulur merapihkan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya.
                Abian menunduk mendekati Kiara dan mengecup keningnya. Kecupan singkat darinya, tetapi ia masih menatap wajah Kiara dari dekat tanpa ingin menjauhkan wajahnya.
                Tatapan tajamnya kini turun ke bagian bibir tipis merah milik Kiara yang begitu menggoda. Bibir yang tampaknya masih begitu ranum dan polos belum di jambah oleh pria lain.
                Cukup lama Abian menatap bibir itu, dan mendekatinya. Ia mengecup pelan bibir itu yang entah kenapa memberi getaran aneh pada tubuhnya.
                Abian melihat ke arah mata Kiara yang masih terlelap. Entah kenapa ia tak ingin melepaskan dan mengabaikan bibir ranum itu.
                Ia kembali mengecup bibir Kiara dan sedikit melumat bibir bawahnya membuat Kiara terusik. Abian menjauhkan wajahnya dari Kiara dan menatap Kiara yang masih terlelap. Tatapannya kembali ke bagian bibir Kiara yang basah karenanya.
                Entah kenapa rasanya ia ingin mengecupi dan melahap habis bibir ranum itu yang terasa manis dan berpengaruh kepada tubuhnya.
                Abian akhirnya memilih menghentikan kegiatan mencuri ciuman itu dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
                ~~~
                Kiara bangun dari tidurnya, ia mengucek kedua matanya dan merenggangkan kedua tangannya.
                “Jam berapa yah ini,” gumamnya menutup mulutnya yang menguap.
                “Tujuh.”
                Jawaban itu langsung membuat Kiara menoleh ke sumber suara.
                “Ah...!” Kiara menjerit seraya menutup mata dengan kedua tangannya.
                “Apa?”
                “Ke-kenapa Tuan tidak memakai baju?” seru Kiara wajahnya terasa memanas.
                Abian tampak santai dengan tubuh polosnya dan hanya menggunakan handuk yang di lilit di pinggangnya.
                “Kenapa? Aku suamimu.”
                Jawaban singkat nan datar itu semakin membuat Kiara malu sekaligus kesal. Ini orang kenapa begitu irit berbicara, apa kapasitas suara dan katanya terbatas.
                Kiara melihat Bian berjalan menuju walk in closet, dan itu kesempatan Kiara melesat cepat masuk ke dalam kamar mandi dan menyembunyikan diri dari pemandangan yang Eeerrr... menggiurkan hasrat.
                ~~~
                Saat ini Kiara dan Abian sedang menikmati makan malam mereka dalam diam. Tak ada yang bersuara selain dari suara dentingan sendok dan garpu. Sesekali Kiara melirik ke arah Bian yang tampak fokus dengan elegant pada makanannya. Cara makan Abian juga terlihat begitu rapi dan sangat elegant.
                Selesai makan, mereka masih diam dan meneguk minuman dalam gelas.
                “Aku akan kembali ke kamar,” seru Kiara ingin segera melarikan diri dari suasana mencengangkan ini.
                “Tunggu!”
                Kiara mengernyitkan dahinya mendengar seruan Abian. Ia kembali duduk di tempatnya dan menatap ke arah lain tak ingin beradu tatapan dengan Bian.
                “Ini handphone untukmu,” ucap Abian menyerahkan Iphone keluaran terbaru ke arah Kiara. “Cari tau kampus dan jurusan yang kamu inginkan di kota ini. Nanti akan aku daftarkan.”
                Tumben... ini adalah kalimat terpanjang yang di ucapkan oleh tuan irit berbicara itu.
                “Ini terlalu mahal dan mewah,” seru Kiara saat melihat Iphone yang sangat mewah dan bagus.
                “Kamu harus terbiasa dengan semua barang ini.” Abian beranjak dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan Kiara yang hanya menatapnya dongkol.
                “Cepat katakan padaku kalau sudah menentukan pilihan,” serunya dengan nada datar membuat Kiara semakin dongkol.
                Ya Allah, kenapa aku memiliki suami model begini? Tampan sih jangan di tanya, tetapi kenapa begini? Kiara membatin dalam kedongkolannya.