Lentera Hati
Bagian
1
A
|
lfando Jawad Handoko, seorang
hakim muda yang popular di kalangan masyarakat Chicago, AS.
Sudah 2 tahun, ia menyandang
status sebagai Hakim. Ia di kenal sebagai Hakim yang jujur, tegas dan dingin. Bahkan
tak ada yang berani menyogoknya ataupun melawannya. Ia adalah sosok yang keras,
tegas, jujur dan dingin. Dia memang popular di kalangan para wanita, tetapi
karena sikapnya yang dingin bahkan tak tersentuh membuat para wanita berpikir
berkali-kali lipat untuk mendekatinya kalau tidak ingin mendapat malu karena di
cuekkan atau tak di anggapnya sama sekali.
“Permisi Mr.” Raji yang merupakan sekretarisnya datang
mengetuk pintu.
“Ada apa Raji?” tanyanya tanpa menatap ke lawan bicaranya.
“Ada Tuan Rival ingin bertemu anda,” seru Raji membuat Alfa
menghentikan aktivitasnya yang sedang membaca sebuah kasus.
“Biarkan dia masuk.”
“Baik, Sir.”
Alfa menyimpan berkas kasus itu dan menatap ke ambang pintu
yang kini terbuka dan masuklah seseorang yang ia sayangi sekaligus ia benci.
“Ada apa kau datang, Val?” Tanya Alfa.
“Tidakkah Kakak senang aku menengokmu setelah 3 bulan kita
tidak bertemu.” Rival mengambil duduk di hadapan Alfa yang berbataskan meja
kerja Alfa.
Rivaldo tak berbeda jauh dengan Alfa dalam hal ketampanan.
Rival pun memiliki ketampanan di atas rata-rata, sayangnya Rival sering
terlibat beberapa skandal dengan beberapa perempuan. Rival-lah yang kini di minta mengurus perusahaan milik Abraham,
karena Alfa dengan tegas menolak. Ia tidak ingin berhubungan lagi dengan
keluarga Abraham Handoko. Tetapi sayangnya kini perusahaannya dalam situasi
kritis karena Rival tak pernah serius bekerja dan hanya menghamburkan uang
perusahaan saja.
“Tidakkah kau merindukanku, Kak?” goda Rival.
“Kau butuh berapa?” tanya Alfa to the point membuat Rival terkekeh.
“Apa seorang adik yang ingin menemui Kakaknya harus di
dasari karena uang? Aku datang sungguh ingin menengokmu dan aku merindukanmu,”
ucap Rival. “Bagaimana kalau kita minum kopi bersama?”
“Aku sibuk,” ucap Alfa dengan datar.
“Sebentar saja, Kak.”
Alfa menatap Rival yang menampilkan senyumannya membuat
Alfa akhirnya menyetujui keinginan Rival. Ia berdiri dan mengambil mantel yang
bergantung pada patung gantungan, lalu ia memakainya.
“Ayo,” ucapnya berjalan lebih dulu diikuti Rival.
Mereka berdua berjalan bersama dengan angkuh membuat para
wanita tak bisa memalingkan mata mereka dari dua orang pria tampan itu.
Mereka berdua memasuki
sebuah kedai kopi dan Rival segera memesankannya sedangkan Alfa memilih duduk
di salah satu kursi yang berada tepat di dekat
pembatas dari kaca hingga suasana di luar sana terlihat jelas.
“Ini Kak,” ucap Rival menyimpan cup kopi di hadapan Alfa
dan ia duduk di hadapan Alfa seraya meneguk kopinya. “Aku sangat merindukan
suasana seperti ini, sudah lama sekali kita tidak seperti ini. Keluar berdua
dan menikmati kopi panas.”
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan padaku, Rival?”
Tanya Alfa penuh kecurigaan. “Aku tau kamu bukan tipe pria yang menghabiskan
waktu hanya untuk hal yang cuma-cuma, jadi katakanlah sekarang apa yang
membawamu menemuiku.”
“Baiklah, kau memang hakim bossy. Aku datang karena Dad
ingin bertemu denganmu, dia sedang sakit,” ucap Rival membuat Alfa tersenyum
kecut.
“Sakit? Benarkah itu?” tanya Alfa sarkasis.
“Ini sudah 15 tahun berlalu, tidak bisakah kau berdamai dengannya.
Perusahaan juga membutuhkanmu,” ucap Rival.
“Bukankah sudah ada kau,” ucap Alfa.
“Aku tidak suka bekerja, aku masih ingin menikmati
hidupku,” ucap Rival dengan santai.
“Maka jangan harap aku akan mau kembali menginjakkan kaki
di rumah keramat itu dan bertemu orangtua itu,” seru Alfa dengan begitu sinis.
“Dia Ayah kita, Kak! Apa tak ada sedikit saja rasa kasihan
atau sayang Kakak padanya. Dia benar-benar sakit,” ucap Rival sedikit kesal
karena kekeras kepalaan Alfa.
“Apa dia juga tidak merasa sedikit saja rasa kasihan dan
sayang pada Zara? Dengan teganya dia menjebak Zara!” ucap Alfa berapi-api.
“Kenapa Kakak begitu membela anak cacat itu, tidakkah Kakak
sadar dia hanya saudara tiri kita. Aku lah adik kandung Kak Alfa!” ucap Rival.
“Karena dia jauh lebih baik untuk menjadi adikku yang aku
sayangi di bandingkan kamu.” Ucapan Alfa sungguh membuat Rival kesal dan semakin
membenci Zara.
“Katakan pada Abraham, temukan Zara dan bawa dia kembali
dalam keadaan hidup dan tak kurang satupun! Maka aku akan pulang dan
memaafkannya. Kalau tidak bisa, tetaplah menjadi musuh terbesarku hingga akhir
hayat!”
Setelah mengucapkan itu,
Alfa berlalu pergi meninggalkan Rival yang hanya bisa menghela nafasnya lelah.
Ini sudah 15 tahun berlalu, bahkan Zara telah meninggal
tetapi Alfa masih sangat membenci keluarganya.
“Anak pembawa sial itu, setelah matipun dia tetap membuat
keluargaku hancur!” gumam Rival dengan sangat kesal.
Ω
Tidak ada komentar:
Posting Komentar